“Kamu
Kasturi kan?”
Untuk
kedua kalinya pria itu bertanya dan kini mulutku berbalas ucap sambil kumpulkan
nyawa-nyawa yang sedari tadi mengambang. “Ehh..
mm iya benar” jawabku cepat.
Dan
pria itu berlalu dengan cuek, lanjutkan langkahnya sambil memegang gitar
akustik ditangan kanannya. Meninggalkan aku yang masih kebingungan.
Baju seragam keluar yang sengaja
dibiarkan, celana abu-abu cutbrai yang ia kenakan terlihat asing sekali dengan
siswa laki-laki yang lain. Terlihat kuno tetapi tidak mau tau. Menarik. Rambut
hitam berantakkan peneduh kepalanya menari-nari karena langkah yang begitu
cepat. Sepatu keds hitam yang kucel ikut serta menyamakan haluan kaki
pemiliknya. Kini ia telah jauh berada dipagar sekolah, dan hilang ditelan
kerumunan siswa yang lapar.
“Tunggu... ah biarkan berlalu” batinku.
“Kastrui tau siapa dia?” Anggun membuka
percakapan setelah lamunku yang jauh keseberang yang telah hilang itu.
“Tau Anggun, tapi ga kenal sih. Sering liat
dia main gitar dikantin belakang”. Balasku.
“Ayo ketauan kamu Kasturi suka perhatikan cowok
itu ya. Haha”. Sambut Hafiz
dengan ledekkan dan tawanya yang tidak pernah berhenti menghantuiku. Kesal
sekali tapi aku memang harus kalah kembali dari Hafiz. Ya memang seperti itu
kenyataannya. Sorot mataku selalu tertuju padanya, entah memang semua
beranggapan sama sepertiku tetapi benar pria itu terlihat berbeda dari yang
lain. Apa lagi lagu-lagu yang ingin selalu ku dengarkan dari petikan gitarnya.
Kali ini aku kerumah sakit ditemani Hafiz,
sepulang sekolah tadi ia menjemputku dan kini motor besar yang dikendarainya
melaju sigap. “Kenapa cantik hari ini
upiak?” rayunya. Upiak adalah sebutan untuk anak gadis diminang. Entah
kenapa Hafiz suka memanggil dengan sebutan itu, ya cuma dia. “Emang cuma hari ini aja aku cantik Hafiz!”
balasku usil. Dan kami tertawa bersama-sama memecah lalu lalang makhluk berjiwa disekitar. Celotehnya
menemani disepanjang jalan, kenyamanan dan keceriaan ku dapatkan darinya.
“Nanti kalau udah sampai rumah sakit, papa
pasti langsung sembuh karena aku jenguk”. Diam kini berkabung atas aku.
Sungguh ketika perkataan hiburan Hafiz benar-benar terjadi, itu lah yang sangat
ku inginkan. Kembali berkumpul bersama dengan papa, dirumah sederhana kami
mesin jahit yang kini mulai membeku , kursi yang dulu hangat berjam-jam ia
duduki sekarang telah layu. Bunyi decitan kayu berisik akibat pijak kakinya
dilantai rumah tak lagi temani hariku, klimkasnya adalah rindu sekali kepada
pak tua botak yang keren itu. Merangkul diri sendiri ketika terpuruk tidak
semunafik itu, aku benar menginginkan keceriaan bersama papa kembali. Tak
terasa bulir bening itu kini menganak sirami pipiku. Rapuh, sedikit demi
sedikit tubuhku bergetar gontai. Cepat ku usap air mata dan berusaha tegar agar
semua yang akan terjadi lebih baik dari ini.
Tas selempang samping panjang ku bhiarkan
teresoh ikut serat langkahku. Pashmina hitam polos terlilit leluasa, T-Shirt
maroon kedodoran bergambar karikatur seorang pria bertuliskan “Tan Malaka”
sedalam paha dipadukan dengan jaket denim junkies, celana jeans hitam lapang
dan sepatu keds kini tergantung pada bingkai tubuhku. T-Shirt bersejarah yang
menjadi salah satu kebangganku menjadi seseorang beradarah minang. Tan Malaka
adalah salah satu aktifis kemerdekaan Indonesia asal Panam Gadang, Suliki,
Sumatera Barat yang dipaksa terlupakan.
Nasip yang sama dirasakan oleh Widjie Tukul sastrawan era jajahan yang
munculkan banyak amunisi protes terhadap kurang warasnya pemerintahan saat itu
lewat karya sajak-sajaknya. Salah satu sajak yang menjadi andalanku adalah
“Bunga dan Tembok”. Seperti terbawa pada zaman itu, bait demi bait yang
berbaris angkuh tapi ingin hidup lumpuhkan siapa saja pembaca yang meresapinya.
Tentu saja beliau menjadi salah satu guruku, guru tak hidup yang memberikan
ilmu lewat peninggalan karyanya. Persepsi macam apa yang pantas dilontarkan,
orang-orang hebat seperti mereka bisa saja dilupakan seperti itu. Tentu saja
semua yang ku ketahui tidak jauh dari bantuan papa yang selalu beri referensi
sejarah untuk ku pelajari. Caranya ajarkan aku sesuatu yang mungkin ayah lain
tak pernah ajarkan, selalu ada keunikkan tersindiri pada pria ini. Suatu hal
yang selalu buat aku selalu penasaran
terhadapnya. Papa memiliki watak yang tak orang lain bisa pahami termasuk aku
ananknya. Begitulah ia selalu menjadi pangeranku yang teristimewa. Ah itu dia,
pria yang ku sebutkan telah muncul dihadapanku, tak lupa senyum simpul ciri
khasnya ia hadiahi lagi untukku.
Kesehatan papa mulai membaik, dan dokter
telah mengizinkan pulang esok hari. Papa dan Hafiz bercengkrama riang bahkan
sesekali sempat mentertawakanku dengan keusilan kompak mereka. Setelah sholat
Zuhur dimushola, aku iseng berjalan sendiri mengelilingi rumah sakit.
Tap...
langkahaku berhenti ketika melihat seorang pria duduk dibangku putih kantin
rumah sakit dan memang seperti syndrome yang terjangkit setiap kali melihat
sosok itu perasaan kacau balau ini datang lagi, bahkan lebih hebat dari
biasanya. “Ya Tuhan” buru-buru aku
balik badan ingin menghindarinya, tapi kini suara itu lebih dulu meneyebut
namaku.
“Kasturi..”
Sama
seperti saat tadi, suara yang lembut, bedanya kali ini adalah sapaan bukan
sebuah pertanyaan. Aku membalik badan dan pria itu berlari kecil menghampiriku
dan semakin dekat. Hingga... bola mata itu terlihat lebih jelas, coklat
keemasan. Pria ini sedikit lebih rendah dari aku, dan nafas terengahnya
menyeruput disekitar wajahku.
“Hay,
aku Ganesh” Ucapnya sambil ulurkan tangan. Oh Tuhan yang benar saja ini,
apa aku harus menjabat kembali tangannya atau lari kalang kabut karena
kewarasanku mulai buyar. Ku jabat kembali. Laykanya pasir pantai yang terombang
ambing diterpa angin, karena perbuatan ini diluar batas kesadaranku. Sempurna.
Aku perintahkan terhadap keadaan sekitar biarkan ini berakhir sebentar saja.
Entah siapa yang perintahkan untuk beranjak darinya, yang jelas kini aku mulai
berjalan menjauhi dia yang masih memandang punggungku.