PURNAMA KERTAS KARTON

PURNAMA KERTAS KARTON

Senin, 07 Desember 2015

IV. DUA PERTEMUAN



       Kamu Kasturi kan?
Untuk kedua kalinya pria itu bertanya dan kini mulutku berbalas ucap sambil kumpulkan nyawa-nyawa yang sedari tadi mengambang. “Ehh.. mm iya benar” jawabku cepat.
Dan pria itu berlalu dengan cuek, lanjutkan langkahnya sambil memegang gitar akustik ditangan kanannya. Meninggalkan aku yang masih kebingungan.
     
     Baju seragam keluar yang sengaja dibiarkan, celana abu-abu cutbrai yang ia kenakan terlihat asing sekali dengan siswa laki-laki yang lain. Terlihat kuno tetapi tidak mau tau. Menarik. Rambut hitam berantakkan peneduh kepalanya menari-nari karena langkah yang begitu cepat. Sepatu keds hitam yang kucel ikut serta menyamakan haluan kaki pemiliknya. Kini ia telah jauh berada dipagar sekolah, dan hilang ditelan kerumunan siswa yang lapar.
Tunggu... ah biarkan berlalu” batinku.
Kastrui tau siapa dia?” Anggun membuka percakapan setelah lamunku yang jauh keseberang yang telah hilang itu.
Tau Anggun, tapi ga kenal sih. Sering liat dia main gitar dikantin belakang”. Balasku.
Ayo ketauan kamu Kasturi suka perhatikan cowok itu ya. Haha”. Sambut Hafiz dengan ledekkan dan tawanya yang tidak pernah berhenti menghantuiku. Kesal sekali tapi aku memang harus kalah kembali dari Hafiz. Ya memang seperti itu kenyataannya. Sorot mataku selalu tertuju padanya, entah memang semua beranggapan sama sepertiku tetapi benar pria itu terlihat berbeda dari yang lain. Apa lagi lagu-lagu yang ingin selalu ku dengarkan dari petikan gitarnya.

    Kali ini aku kerumah sakit ditemani Hafiz, sepulang sekolah tadi ia menjemputku dan kini motor besar yang dikendarainya melaju sigap. “Kenapa cantik hari ini upiak?” rayunya. Upiak adalah sebutan untuk anak gadis diminang. Entah kenapa Hafiz suka memanggil dengan sebutan itu, ya cuma dia. “Emang cuma hari ini aja aku cantik Hafiz!” balasku usil. Dan kami tertawa bersama-sama memecah lalu lalang  makhluk berjiwa disekitar. Celotehnya menemani disepanjang jalan, kenyamanan dan keceriaan ku dapatkan darinya.
Nanti kalau udah sampai rumah sakit, papa pasti langsung sembuh karena aku jenguk”. Diam kini berkabung atas aku. Sungguh ketika perkataan hiburan Hafiz benar-benar terjadi, itu lah yang sangat ku inginkan. Kembali berkumpul bersama dengan papa, dirumah sederhana kami mesin jahit yang kini mulai membeku , kursi yang dulu hangat berjam-jam ia duduki sekarang telah layu. Bunyi decitan kayu berisik akibat pijak kakinya dilantai rumah tak lagi temani hariku, klimkasnya adalah rindu sekali kepada pak tua botak yang keren itu. Merangkul diri sendiri ketika terpuruk tidak semunafik itu, aku benar menginginkan keceriaan bersama papa kembali. Tak terasa bulir bening itu kini menganak sirami pipiku. Rapuh, sedikit demi sedikit tubuhku bergetar gontai. Cepat ku usap air mata dan berusaha tegar agar semua yang akan terjadi lebih baik dari ini.

      Tas selempang samping panjang ku bhiarkan teresoh ikut serat langkahku. Pashmina hitam polos terlilit leluasa, T-Shirt maroon kedodoran bergambar karikatur seorang pria bertuliskan “Tan Malaka” sedalam paha dipadukan dengan jaket denim junkies, celana jeans hitam lapang dan sepatu keds kini tergantung pada bingkai tubuhku. T-Shirt bersejarah yang menjadi salah satu kebangganku menjadi seseorang beradarah minang. Tan Malaka adalah salah satu aktifis kemerdekaan Indonesia asal Panam Gadang, Suliki, Sumatera Barat yang  dipaksa terlupakan. Nasip yang sama dirasakan oleh Widjie Tukul sastrawan era jajahan yang munculkan banyak amunisi protes terhadap kurang warasnya pemerintahan saat itu lewat karya sajak-sajaknya. Salah satu sajak yang menjadi andalanku adalah “Bunga dan Tembok”. Seperti terbawa pada zaman itu, bait demi bait yang berbaris angkuh tapi ingin hidup lumpuhkan siapa saja pembaca yang meresapinya. Tentu saja beliau menjadi salah satu guruku, guru tak hidup yang memberikan ilmu lewat peninggalan karyanya. Persepsi macam apa yang pantas dilontarkan, orang-orang hebat seperti mereka bisa saja dilupakan seperti itu. Tentu saja semua yang ku ketahui tidak jauh dari bantuan papa yang selalu beri referensi sejarah untuk ku pelajari. Caranya ajarkan aku sesuatu yang mungkin ayah lain tak pernah ajarkan, selalu ada keunikkan tersindiri pada pria ini. Suatu hal yang selalu buat aku selalu  penasaran terhadapnya. Papa memiliki watak yang tak orang lain bisa pahami termasuk aku ananknya. Begitulah ia selalu menjadi pangeranku yang teristimewa. Ah itu dia, pria yang ku sebutkan telah muncul dihadapanku, tak lupa senyum simpul ciri khasnya ia hadiahi lagi untukku.

      Kesehatan papa mulai membaik, dan dokter telah mengizinkan pulang esok hari. Papa dan Hafiz bercengkrama riang bahkan sesekali sempat mentertawakanku dengan keusilan kompak mereka. Setelah sholat Zuhur dimushola, aku iseng berjalan sendiri mengelilingi rumah sakit.
Tap... langkahaku berhenti ketika melihat seorang pria duduk dibangku putih kantin rumah sakit dan memang seperti syndrome yang terjangkit setiap kali melihat sosok itu perasaan kacau balau ini datang lagi, bahkan lebih hebat dari biasanya. “Ya Tuhan” buru-buru aku balik badan ingin menghindarinya, tapi kini suara itu lebih dulu meneyebut namaku. 
          Kasturi..
Sama seperti saat tadi, suara yang lembut, bedanya kali ini adalah sapaan bukan sebuah pertanyaan. Aku membalik badan dan pria itu berlari kecil menghampiriku dan semakin dekat. Hingga... bola mata itu terlihat lebih jelas, coklat keemasan. Pria ini sedikit lebih rendah dari aku, dan nafas terengahnya menyeruput disekitar wajahku.
 Hay, aku Ganesh” Ucapnya sambil ulurkan tangan. Oh Tuhan yang benar saja ini, apa aku harus menjabat kembali tangannya atau lari kalang kabut karena kewarasanku mulai buyar. Ku jabat kembali. Laykanya pasir pantai yang terombang ambing diterpa angin, karena perbuatan ini diluar batas kesadaranku. Sempurna. Aku perintahkan terhadap keadaan sekitar biarkan ini berakhir sebentar saja. Entah siapa yang perintahkan untuk beranjak darinya, yang jelas kini aku mulai berjalan menjauhi dia yang masih memandang punggungku.

Rabu, 25 November 2015

III. KASTURI?




       Liar bola mataku meliuk kesana-sini mencari seseorang itu.
Pohon tinggi menjulang damaikan peneduh dibawahnya, pagar bunga setinggi dada mencuat ingin segera tumbuh besar. Disinilah tempat favoritku menghabiskan jam istirahat sekolah dan takku lupakan seseorang itu. Buyar dan hancur seketika tepukan dipundak runtuhkan ambisiku siang ini.
Kemana aja upiak aku cariin dari tadi loh. Rindu sekali aku Kasturi. Bagaimana keadaan papa?”  tiba-tiba suara besar Hafiz jatuhkan sadarku dua kali. “Kebiasaan sekali kamu datang tiba-tiba gini. papa alhamdulillah sudah mulai membaik. Beliau titip salam tu. Kapan kamu jenguk papa lagi? Rindu sekali dia dibawakan kerupuk kuah buatan mama” balasku dengan senyum terhadap pria ini. Tawa girang dan belaian tangannya mendarat diatas kepalaku. “Kamu yang maukan? pakai cara bilang papa yang rindu lagi. Itukan makanan kesukaan Kasturi”.
Dan sialnya kali ini aku harus kalah dari Hafiz. Kerupuk lebar tipis terbuat dari bahan ubi. Pelengkapnya kuah kuning yang dibiarkan lezat diatas permukaan terbuat dari bahan dasar tepung dan bumbu penyedap lainnya. Terkadang kuah sate sebagai penggantinya. Memikirkannya saja membuatku lapar. Tenang tidak harus merogoh kocek yang mahal untuk satu porsi makanan yang menjadi ikon jajanan dibawah Jam Gadang Kota Bukittinggi ini. Ya begitulah, cukup sesederhana itu penikmatku. Apa lagi kalau itu buatan tante Diana. Mama Hafiz sangat pintar sekali memasak.
      
      Kedekatanku dan Hafiz sama seperti aku dengan kedua orang tua serta Layla adik perempuan Hafiz yang masih berumur 4 tahun. Beruntung sekali memang bisa mengenal orang baik seperti mereka. Papa juga sangat berteman baik dengan kedua orang tua Hafiz, ia pernah bercerita tentang jasa keluarga mereka yang sangat baik terhadapnya dulu ketika mama masih ada. Papa dan mama yang hanya seorang perantauan berasal dari pulau mentawai pindah ke Padang untuk mengadu nasip dan beruntung sekali bertemu dengan om Imron papa Hafiz. Papa yang berstatus pengangguran saat itu diberikan pekerjaan sebagai mandor disalah satu proyek bangunan. Setelah 3 tahun bekerja sama dengan om Imron, papa mengumpulkan banyak modal dan beliau ingin membuat usaha menjahit, pekerjaan yang digemarinya sejak dulu.
Dia bukanlah seorang yang sempurna, banyak sekali kekurangannya saat mendidikku, tetapi satu pelajaran yang mungkin sangat berkesan bagiku. Ia ajarkan aku untuk tidak memaksa. Banyak hal yang harus kita lalui, tetapi tidak banyak yang akan menjadi indah ketika paksaan menjadi tiang sangganya. Ingat saat itu wejangan basa basi sebelum tidur. Akhirnya pekerjaan mandor yang ia lakoni ditinggalkan dan beralih profesi sebagai penjahit pakaian seperti saat sekarang. Hubungan keluarga masih terjalan sangat baik.
       Sudah selama itu kekerabatan keluarga kami, tapi pertemuanku dan Hafiz baru hampir 3 tahun belakangan ini. Karena pada saat masih kecil Hafiz dibawa ke Semarang oleh neneknya hingga menyelesaikan bangku SMP. Sampai pada akhirnya aku bertemu kembali dengan teman kecil yang terlupakan saat itu.
    
        Riuh semilir angin menggoyang-goyangkan ujung jilbabku. Canda gurau bersama Hafiz yang menjadi moment ku rindukan. Bagaimana tidak, pria tampan ini mampu membuatku bergidik malu karena ulahnya yang jahil. Kekonyolannya mampu hadang rasa bosanku.  Hafiz lah satu-satunya teman yang sangat mengerti bagaimana keadaanku. Hampir setiap saat banyak macam daftar menu rasa ia lewatkan bersamaku. Tampan?  Ya seperti itulah perawakannya. Bertubuh besar dan tinggi serta kulit putih yang terawat. Pria ini hidup dikalangan keluarga yang mapan, tentu saja berpengaruh dengan gayanya, barang-barang yang ia kenakan mahal dan modis serta membakar trend masa kini. Apa lagi Hafiz seorang yang sangat peduli dengan penampilan, membuatnya menjadi salah satu pria idaman disekolah ini. Yang benar saja! Pria konyol didepan mataku menjadi seorang yang diidamkan? Mungkin mereka terkena serangan mata kronis... hal itu juga yang awalnya membuatku minder bertemannya. Aku? Sosok gadis kurus tinggi berkulit gelap, mata besar serta bulu mata lentik yang berbaris merapikan diri, bibir kecil dan tipis, serta hidung sederhana dari kata mancung ikut serta hiasi gerture wajahku yang oval. Gadis berjilbab mania fashion vintage. Blue jeans dengan denim jackets, baby doll dresses, long t-shirts kedodoran dipadukan dengan sepatu sneakers dan keds. Bergaya dengan pakaian floral dan gaya hippie terkadang menjadi sosok hibster adalah salah satu hobiku untuk bereksperimen memadukannya. Kepuasan tersendiri untukku bisa mix and match fashion sperti itu. Gak jarang teman mengatakan itu kuno karena style seperti ini hits pada era 1960-1990an. Sama sekali tidak mengurangi keinginan untuk menjadi diriku sendiri.
        
       Entah harus memulai dari mana. Yang jelas kini degupnya sangat kuat dan hebat, izinkan untuk kali ini saja sungguh bersikaplah sewajarnya. Perasaan seperti apa ini, terlalu asing dan tak bertuan tapi telah lama ku dambakan. Aku perintahkan diri ini untuk segera sadar dan bangkit dari dimensi lain tetapi benar sekali sesuatu yang indah itu berhasil kuasai hati, pikiran, bahkan jiwaku. “Ayo bangun Kasturi bangun! Dia hanya sekedar meneyebut namamu. Jangan terlau berlebihan seperti ini” Batinku kembali sadarkan.

       
       Tadi dikoridor jalan meninggalkan kelas, aku berjalan diantara Anggun teman sekelasku dan Hafiz yang mengapit dekat sekali. Riuh sorak sorai murid SMA keluar berdesakan pertanda sekolah yang penat hari ini telah usai. Tidak sampai disana, tugas-tugas yang semakin menumpuk seakan ikut serta tertawakan siswa kelas 12 yang sebentar lagi berada dipenghujung semester genap. Jenuh, bosan, muak, penat, letih, tentu saja menjadi desakkan yang silih berganti ingin menyiksa. Tak terkecuali aku yang ingin mengunyah habis buku pelajaran lalu melenggang pergi dan terbang kemanapun yang penting kebebasan bersamaku. Tapi kembali lagi pada satu tujuannku inigin membahagiakan papa dengan hasil jerih payahku, tentu saja bersikap tidak waras seperti itu akan tenggelamkan dalam kehancuran masa depan. Hey, remaja mana yang tidak menginginkan hidup cerah kelak. Skip! Ku buang jauh kemalasan demi kemalasan itu.

     

       “Kastrui?” teguran lembut seorang pria itu mengehentikan langkahku. Begitu berat sekali hawa disekitarku, sesak sekan waktu mencekik tepat dileherku. Berdiri didekaktu dengan senyum yang siap menyertakan ingatanku untuk tidak lupakan. Itulah sesuatu yang indah dan sekarang bertuan.

     

Kamis, 18 Juni 2015

II. PENERANGKU

          Malam larut terlalu munafik untuk beranjak dari dinginnya. Semilir angin mampu bekukan keruang kosong sekalipun, tak terkecuali syal rajut yang melilit lembut lehernya. Ku pandang dari belakang punggung pria besar yang berkutik dengan mesin jahit tuanya. Cepat gerak-gerik tangannya meniti satu persatu benang yang merangkai. Ligat ayunan kakinya menyebabkan bunyi putaran mesin yang riuh kaku. Seperti mentari yang tak pernah lelah angurahkan sinarnya, seperti itu lah papa yang tidak pernah lelah dan menahan kantuknya selesaikan tumpukkan bahan kain yang merebak demi kasturi kecil. Sebutan itu lah yang selalu muncul ketika rayuan dan bujuk manjaku melayang terhadapnya. Entah seperti apa pandangan papa terhadap aku yang telah mulai beranjak dewasa dan sikap apa yang telah aku perbuat. Terlihat seperti putri kecil yang bermanja dibalik ketiak rajanya. Aku paham yang dia lakukan untuk memenuhi segala kasih sayang yang ia perankan seorang diri. Seperti ada keinginan yang tertahan. Ah tidak. “Papa, udah malam ni sebaiknya dilanjutkan besok. panas badan papa juga belum reda.” Ku rangkul hebat bahunya sembari sandarkan kepala kelengannya yang kuat tetapi goyah. Usapan tangannya hangatkan aku malam itu. Aku tau beliau sedang tidak sehat terlihat dari raut wajahnya yang lesu, mata besar cekung yang mulai sayu, dan suara parau yang tetap lembut. “Iya kasturi kecil, mari nak bantu papa merapikan kain perca ini” balas nya dengan pelan. Sejak saat itu lah kesehatan papa mulai memburuk, aktifitas yang selalu terhalang karena menahan sakit dibagian perut harus diterimanya. Hingga sampai detik ini beliau harus dirawat intensif agar tukak lambung yang dideritanya tidak bertambah parah.

          Lorong rumah sakit seakan ingin tertawakan langkahku. Tali sepatu yang renggang seperti ingin berlari cepat dan tak lagi ku hiraukan yang penting aku harus sampai keruang papa yang berada di kamar Ar-Rahman C. Decitan bunyi dorongan pintu membangunkan papa yang sedang tertidur. Terlihat wajahnya yang kian menua, kerut yang mulai merekah dan kulit gelap itu kini tampak kecoklatan tertutup lengan baju warna hijau pudar. Tak lupa senyum simpul nya yang mahsyur ia sunggingkan kearahku. “Eh anak papa kasturi hitam manis udah datang. Mari nak ceritakan pada papa sekolah hari ini. Anak gadis siapa yang gangguin tadi?” sambutnya saat aku tiba. Ku raih dan cium tangannya yang hangat sambil tersenyum menutupi rona itu. Seperti itu lah papa dalam keadaan apapun beliau selalu membuat suasana riuh meski kami hanya berdua. Gelak tawanya pecah ketika dia membahas kisah-kasih percintaanku disekolah. Ah yang benar saja papa ini, memang aku memiliki teman pria yang sangat dekat denganku. Hafiz, teman ku sejak pertama kali masuk ke SMA. Pertemuan yang konyol karena saat pertama kali bertemu Hafiz tidak sengaja menarik jilbab sekolahku karena ia mengira aku temannya. Hampir saja pukulanku melayang kearahnya karena mengira dia bersikap kurang ajar. Sejak saat itu aku berteman baik dengannya, silaturrahmi terjalin antara keluarganya dan papa. Dan memang hingga detik ini aku belum pernah merasakan pacaran seperti remaja lain lalui. Mungkin aku yang terlalu takut untuk mencoba, dan memang kasih sayang yang papa berikan jauh lebih besar ku dapatkan dari pria manapun termasuk Hafiz teman dekatku. Papa juga tidak melarang aku berhubungan dengan pria manapun asal memiliki latar belakang yang baik. “Masa setiap hari harus papa yang antar jemput kamu sekolah. Kapan dong pacarnya yang datang nak? Atau pacarnya takut dengan papa yang botak ini? papa juga gak kalah keren loh dari kalian” ingat kala itu ledekan papa yang terasa seperti kilat menyambar langsung kepucuk rambutku. Namun tetap saja aku belum mau untuk mencoba. Tidak! jangan mengira aku bukan remaja normal, segala fase keremajaan ku lalui dengan apa adanya. Ada seseorang itu. Dekat tetapi sangat jauh.
Sambil menyuapi papa makan siang, aku terus bercerita disambut dengan ledekannya yang tidak berhenti menghujamku sedari tadi. Papa keliatan begitu bahagia meski sedang menahan rasa sakit. “Tenang saja papa, kasturi tidak akan biarkan papa rasakan sakit ini sendirian. Kebahagiaan papa adalah penerang jalan kasturi dalam gelap luka” ucap ku dalam hati.

I. AWAL HARU

           Dikala siang terik itu aku bergeming diantara haluan gerak-gerik manusia yang siap melunturkan bulir keringat hari ini. Jangan harap bermalasan akan menguntungkan ditengah kota yang akan meledak muntahkan penghuninya. Bau masam yang tak dapat terelakkan seakan menjadi teman jalanku dipinggiran halte bus ini. Sudah tiga hari aku harus berjalan sendiri dari sekolah yang tidak seberapa jauh dan melanjutkan langkahku keatas busway rongsok yg siap melalang buana dikemacetan kota. Ya dan beberapa hari terakhir juga aku harus menelan luka mentah-mentah melihat papa terbujur lemas diatas kasur putih rumah sakit. Pilu hatiku mengatakan bahwa papa sedang dalam keadaan sakit keras. Tukak lambung yang telah lama menggerogoti sisa umurnya kini menjelma menjadi takdir yang akan siap merenggut papa kapanpun. Ah tidak! Benci sekali memikirkan hal ini.
Tak terasa kaki mungil yang kubalut dengan sepatu kets warna hitam kini sudah menginjak lantai busway yang kotor dan berbau besi karat. Baju seragam putih abu-abu melekat ditubuh tinggiku yang lunglai. Tentu saja akulah seorang siswi sekolah menengah atas kelas 12 yang sekarang menginjak umur 17tahun.
Kasturi. Pernah suatu kali aku bertanya kepada papa arti nama singkat itu. jawabnya “Karena kamu terindah untuk papa, sama seperti nabi Muhammad yang menyukai bunga kasturi”. Satu hal yang ku sadari, ternyata dibalik itu ada sosok yang sedang memujaku jauh sebelum aku ada mungkin. Bukan sesuatu yang mengada tapi benar ku akui papa adalah sosok yang puitis untuk potongan orang biasa seperti ia. Berbadan tinggi dan besar. Garis wajah yang kian mengeras sekan menjadi teman cerita hidupnya. Bola mata yang cekung kedalam menjadi sorotan saat pertama kali melihatnya. Kepala botak ia kenakan pat coklat tua lusuh yang selalu dipakai keluar rumah. Kemeja yang sengaja terbuka katup atasnya dan celana cutbrai serta sepatu boots hitam kokoh yg bersejarah. AH! rindu sekali beliau yg seperti itu setiap saat mengantar dan menjemput kesekolah.
     

          Ingin sekali berbaring dilantai busway ini, tetapi manusia mana yang tidak mengira orang gila berseragam seperti aku. Penat sekali menjalankan aktifitas disekolah hari ini.
SMA Gonjong Langik. Dari namanya yang diambil dari bagian rumah gadang sudah menggambarkan dikota mana aku bersekolah. Ya kota Padang, Sumatra Barat. Sekolah bergengsi yang mendidik anak-anak pejabat dan orang-orang ternama tapi sama sekali tidak dengan aku. Papa yang hanya seorang wirausaha penjahit pakaian beruntung bisa menyekolahkan putri semata wayangnya disini karena beasiswa seni sastra yang kudapatkan sewaktu SMP. Ingat kala itu aku berhasil memenangkan lomba karya mengarang sajak. “Donorkan darahmu” cerita sejarah yang ku rangkai sedramatis mungkin berhasil mengambil hati juri lomba. Alhasil aku pulang membawa piala bertuliskan Juara 1 Mengarang sajak tingkat SMP. Entah angin surga dari mana yang berhembus dikeluargaku, yang jelas papa dan aku memiliki darah seni yang mengalir didalamnya. Mama? Seseorang yang ku sebut tidak lain malaikat itu telah lama pergi ketempat terindahNya sejak aku dilahirkan. Beruntung sekali kalian yang masih mempunyai ibu dan kasih sayangnya tidak akan pernah putus meski matahari hilang dari peredaran. Saat itu ingin sekali aku berdoa kepada Tuhan agar membuka mata sebentar saja untuk melihat wajah malaikatku, lalu aku berjanji kepada pagi yang terang dan malam yang gelap untuk selalu menyimpan memori wajahnya disetiap hayat hidupku. Mungkin takdir yang telah menoreh jejaknya yang jelas saat itu mama harus mengeluarkan banyak darah untuk berjuang demi sikecilnya yang kini merindukan dia. Sosok pendamping mama yang kini masih terlihat oleh pelupuk mataku ia lah papa yang juga berperan sebagai mama. Kasih sayang beliau yang selalu tumpah ruah terhadapku. Jangan tanya seberapa besar cintaku padanya. Seluas lautan akan ku tumpahi darahku untuknya.

           
      Citttt… Bunyi rem usang berdecit membuyarkan lamunanku. Tak terasa seonggok angkutan umum ini telah berhenti tepat ditepi jalan persimpangan masuk ke gang rumahku. “Diak disinikan? ngelamun ajo” kernek bus yang memulai awal percakapan sedari tadi bungkamku. Logat minangnya yang masih kental meski dicampur dengan bahasa Indonesia terlihat asing sekali. “Eh iya uda. makasih uda hafal tempat awak berhenti ya” balas ku. Aku berikan recehan sisa yg kupunya dan segera melompat turun dari bibir pintu. Lambat langkahku seperti ada baja yang mengikat diantaranya. Ah lamban aku harus berlari karena papa sedang menunggu sendirian dirumah sakit. Tak ku hiraukan seberapa pahit hari ini semua musnah karena satu tujuanku menemui papa yang sedang terbaring.