Malam larut terlalu munafik untuk beranjak dari dinginnya. Semilir
angin mampu bekukan keruang kosong sekalipun, tak terkecuali syal rajut
yang melilit lembut lehernya. Ku pandang dari belakang punggung pria
besar yang berkutik dengan mesin jahit tuanya. Cepat gerak-gerik
tangannya meniti satu persatu benang yang merangkai. Ligat ayunan
kakinya menyebabkan bunyi putaran mesin yang riuh kaku. Seperti mentari
yang tak pernah lelah angurahkan sinarnya, seperti itu lah papa yang
tidak pernah lelah dan menahan kantuknya selesaikan tumpukkan bahan kain
yang merebak demi kasturi kecil. Sebutan itu lah yang selalu muncul
ketika rayuan dan bujuk manjaku melayang terhadapnya. Entah seperti apa
pandangan papa terhadap aku yang telah mulai beranjak dewasa dan sikap
apa yang telah aku perbuat. Terlihat seperti putri kecil yang bermanja
dibalik ketiak rajanya. Aku paham yang dia lakukan untuk memenuhi segala
kasih sayang yang ia perankan seorang diri. Seperti ada keinginan yang tertahan. Ah tidak.
“Papa, udah malam ni sebaiknya dilanjutkan besok. panas badan papa juga
belum reda.” Ku rangkul hebat bahunya sembari sandarkan kepala
kelengannya yang kuat tetapi goyah. Usapan tangannya hangatkan aku malam
itu. Aku tau beliau sedang tidak sehat terlihat dari raut wajahnya yang
lesu, mata besar cekung yang mulai sayu, dan suara parau yang tetap
lembut. “Iya kasturi kecil, mari nak bantu papa merapikan kain perca
ini” balas nya dengan pelan. Sejak saat itu lah kesehatan papa mulai memburuk, aktifitas
yang selalu terhalang karena menahan sakit dibagian perut harus
diterimanya. Hingga sampai detik ini beliau harus dirawat intensif agar tukak lambung yang dideritanya tidak bertambah parah.
Lorong
rumah sakit seakan ingin tertawakan langkahku. Tali sepatu yang
renggang seperti ingin berlari cepat dan tak lagi ku hiraukan yang penting
aku harus sampai keruang papa yang berada di kamar Ar-Rahman C. Decitan
bunyi dorongan pintu membangunkan papa yang sedang tertidur. Terlihat
wajahnya yang kian menua, kerut yang mulai merekah dan kulit gelap itu
kini tampak kecoklatan tertutup lengan baju warna hijau pudar. Tak lupa
senyum simpul nya yang mahsyur ia sunggingkan kearahku. “Eh anak papa
kasturi hitam manis udah datang. Mari nak ceritakan pada papa sekolah
hari ini. Anak gadis siapa yang gangguin tadi?” sambutnya saat aku tiba.
Ku raih dan cium tangannya yang hangat sambil tersenyum menutupi rona
itu. Seperti itu lah papa dalam keadaan apapun beliau selalu membuat
suasana riuh meski kami hanya berdua. Gelak tawanya pecah ketika dia
membahas kisah-kasih percintaanku disekolah. Ah yang benar saja papa
ini, memang aku memiliki teman pria yang sangat dekat denganku. Hafiz,
teman ku sejak pertama kali masuk ke SMA. Pertemuan yang konyol karena
saat pertama kali bertemu Hafiz tidak sengaja menarik jilbab sekolahku karena ia
mengira aku temannya. Hampir saja pukulanku melayang kearahnya karena
mengira dia bersikap kurang ajar. Sejak saat itu aku berteman baik
dengannya, silaturrahmi terjalin antara keluarganya dan papa. Dan memang
hingga detik ini aku belum pernah merasakan pacaran seperti remaja lain
lalui. Mungkin aku yang terlalu takut untuk mencoba, dan memang kasih
sayang yang papa berikan jauh lebih besar ku dapatkan dari pria manapun termasuk Hafiz
teman dekatku. Papa juga tidak melarang aku berhubungan dengan pria
manapun asal memiliki latar belakang yang baik. “Masa setiap hari harus
papa yang antar jemput kamu sekolah. Kapan dong pacarnya yang datang
nak? Atau pacarnya takut dengan papa yang botak ini? papa juga gak kalah
keren loh dari kalian” ingat kala itu ledekan papa yang terasa seperti
kilat menyambar langsung kepucuk rambutku. Namun tetap saja aku belum
mau untuk mencoba. Tidak! jangan mengira aku bukan remaja normal, segala
fase keremajaan ku lalui dengan apa adanya. Ada seseorang itu. Dekat
tetapi sangat jauh.
Sambil menyuapi papa makan siang, aku terus bercerita disambut dengan
ledekannya yang tidak berhenti menghujamku sedari tadi. Papa keliatan
begitu bahagia meski sedang menahan rasa sakit. “Tenang saja papa,
kasturi tidak akan biarkan papa rasakan sakit ini sendirian. Kebahagiaan
papa adalah penerang jalan kasturi dalam gelap luka” ucap ku dalam hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar