PURNAMA KERTAS KARTON

PURNAMA KERTAS KARTON

Senin, 07 Desember 2015

IV. DUA PERTEMUAN



       Kamu Kasturi kan?
Untuk kedua kalinya pria itu bertanya dan kini mulutku berbalas ucap sambil kumpulkan nyawa-nyawa yang sedari tadi mengambang. “Ehh.. mm iya benar” jawabku cepat.
Dan pria itu berlalu dengan cuek, lanjutkan langkahnya sambil memegang gitar akustik ditangan kanannya. Meninggalkan aku yang masih kebingungan.
     
     Baju seragam keluar yang sengaja dibiarkan, celana abu-abu cutbrai yang ia kenakan terlihat asing sekali dengan siswa laki-laki yang lain. Terlihat kuno tetapi tidak mau tau. Menarik. Rambut hitam berantakkan peneduh kepalanya menari-nari karena langkah yang begitu cepat. Sepatu keds hitam yang kucel ikut serta menyamakan haluan kaki pemiliknya. Kini ia telah jauh berada dipagar sekolah, dan hilang ditelan kerumunan siswa yang lapar.
Tunggu... ah biarkan berlalu” batinku.
Kastrui tau siapa dia?” Anggun membuka percakapan setelah lamunku yang jauh keseberang yang telah hilang itu.
Tau Anggun, tapi ga kenal sih. Sering liat dia main gitar dikantin belakang”. Balasku.
Ayo ketauan kamu Kasturi suka perhatikan cowok itu ya. Haha”. Sambut Hafiz dengan ledekkan dan tawanya yang tidak pernah berhenti menghantuiku. Kesal sekali tapi aku memang harus kalah kembali dari Hafiz. Ya memang seperti itu kenyataannya. Sorot mataku selalu tertuju padanya, entah memang semua beranggapan sama sepertiku tetapi benar pria itu terlihat berbeda dari yang lain. Apa lagi lagu-lagu yang ingin selalu ku dengarkan dari petikan gitarnya.

    Kali ini aku kerumah sakit ditemani Hafiz, sepulang sekolah tadi ia menjemputku dan kini motor besar yang dikendarainya melaju sigap. “Kenapa cantik hari ini upiak?” rayunya. Upiak adalah sebutan untuk anak gadis diminang. Entah kenapa Hafiz suka memanggil dengan sebutan itu, ya cuma dia. “Emang cuma hari ini aja aku cantik Hafiz!” balasku usil. Dan kami tertawa bersama-sama memecah lalu lalang  makhluk berjiwa disekitar. Celotehnya menemani disepanjang jalan, kenyamanan dan keceriaan ku dapatkan darinya.
Nanti kalau udah sampai rumah sakit, papa pasti langsung sembuh karena aku jenguk”. Diam kini berkabung atas aku. Sungguh ketika perkataan hiburan Hafiz benar-benar terjadi, itu lah yang sangat ku inginkan. Kembali berkumpul bersama dengan papa, dirumah sederhana kami mesin jahit yang kini mulai membeku , kursi yang dulu hangat berjam-jam ia duduki sekarang telah layu. Bunyi decitan kayu berisik akibat pijak kakinya dilantai rumah tak lagi temani hariku, klimkasnya adalah rindu sekali kepada pak tua botak yang keren itu. Merangkul diri sendiri ketika terpuruk tidak semunafik itu, aku benar menginginkan keceriaan bersama papa kembali. Tak terasa bulir bening itu kini menganak sirami pipiku. Rapuh, sedikit demi sedikit tubuhku bergetar gontai. Cepat ku usap air mata dan berusaha tegar agar semua yang akan terjadi lebih baik dari ini.

      Tas selempang samping panjang ku bhiarkan teresoh ikut serat langkahku. Pashmina hitam polos terlilit leluasa, T-Shirt maroon kedodoran bergambar karikatur seorang pria bertuliskan “Tan Malaka” sedalam paha dipadukan dengan jaket denim junkies, celana jeans hitam lapang dan sepatu keds kini tergantung pada bingkai tubuhku. T-Shirt bersejarah yang menjadi salah satu kebangganku menjadi seseorang beradarah minang. Tan Malaka adalah salah satu aktifis kemerdekaan Indonesia asal Panam Gadang, Suliki, Sumatera Barat yang  dipaksa terlupakan. Nasip yang sama dirasakan oleh Widjie Tukul sastrawan era jajahan yang munculkan banyak amunisi protes terhadap kurang warasnya pemerintahan saat itu lewat karya sajak-sajaknya. Salah satu sajak yang menjadi andalanku adalah “Bunga dan Tembok”. Seperti terbawa pada zaman itu, bait demi bait yang berbaris angkuh tapi ingin hidup lumpuhkan siapa saja pembaca yang meresapinya. Tentu saja beliau menjadi salah satu guruku, guru tak hidup yang memberikan ilmu lewat peninggalan karyanya. Persepsi macam apa yang pantas dilontarkan, orang-orang hebat seperti mereka bisa saja dilupakan seperti itu. Tentu saja semua yang ku ketahui tidak jauh dari bantuan papa yang selalu beri referensi sejarah untuk ku pelajari. Caranya ajarkan aku sesuatu yang mungkin ayah lain tak pernah ajarkan, selalu ada keunikkan tersindiri pada pria ini. Suatu hal yang selalu buat aku selalu  penasaran terhadapnya. Papa memiliki watak yang tak orang lain bisa pahami termasuk aku ananknya. Begitulah ia selalu menjadi pangeranku yang teristimewa. Ah itu dia, pria yang ku sebutkan telah muncul dihadapanku, tak lupa senyum simpul ciri khasnya ia hadiahi lagi untukku.

      Kesehatan papa mulai membaik, dan dokter telah mengizinkan pulang esok hari. Papa dan Hafiz bercengkrama riang bahkan sesekali sempat mentertawakanku dengan keusilan kompak mereka. Setelah sholat Zuhur dimushola, aku iseng berjalan sendiri mengelilingi rumah sakit.
Tap... langkahaku berhenti ketika melihat seorang pria duduk dibangku putih kantin rumah sakit dan memang seperti syndrome yang terjangkit setiap kali melihat sosok itu perasaan kacau balau ini datang lagi, bahkan lebih hebat dari biasanya. “Ya Tuhan” buru-buru aku balik badan ingin menghindarinya, tapi kini suara itu lebih dulu meneyebut namaku. 
          Kasturi..
Sama seperti saat tadi, suara yang lembut, bedanya kali ini adalah sapaan bukan sebuah pertanyaan. Aku membalik badan dan pria itu berlari kecil menghampiriku dan semakin dekat. Hingga... bola mata itu terlihat lebih jelas, coklat keemasan. Pria ini sedikit lebih rendah dari aku, dan nafas terengahnya menyeruput disekitar wajahku.
 Hay, aku Ganesh” Ucapnya sambil ulurkan tangan. Oh Tuhan yang benar saja ini, apa aku harus menjabat kembali tangannya atau lari kalang kabut karena kewarasanku mulai buyar. Ku jabat kembali. Laykanya pasir pantai yang terombang ambing diterpa angin, karena perbuatan ini diluar batas kesadaranku. Sempurna. Aku perintahkan terhadap keadaan sekitar biarkan ini berakhir sebentar saja. Entah siapa yang perintahkan untuk beranjak darinya, yang jelas kini aku mulai berjalan menjauhi dia yang masih memandang punggungku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar