PURNAMA KERTAS KARTON

PURNAMA KERTAS KARTON

Kamis, 18 Juni 2015

I. AWAL HARU

           Dikala siang terik itu aku bergeming diantara haluan gerak-gerik manusia yang siap melunturkan bulir keringat hari ini. Jangan harap bermalasan akan menguntungkan ditengah kota yang akan meledak muntahkan penghuninya. Bau masam yang tak dapat terelakkan seakan menjadi teman jalanku dipinggiran halte bus ini. Sudah tiga hari aku harus berjalan sendiri dari sekolah yang tidak seberapa jauh dan melanjutkan langkahku keatas busway rongsok yg siap melalang buana dikemacetan kota. Ya dan beberapa hari terakhir juga aku harus menelan luka mentah-mentah melihat papa terbujur lemas diatas kasur putih rumah sakit. Pilu hatiku mengatakan bahwa papa sedang dalam keadaan sakit keras. Tukak lambung yang telah lama menggerogoti sisa umurnya kini menjelma menjadi takdir yang akan siap merenggut papa kapanpun. Ah tidak! Benci sekali memikirkan hal ini.
Tak terasa kaki mungil yang kubalut dengan sepatu kets warna hitam kini sudah menginjak lantai busway yang kotor dan berbau besi karat. Baju seragam putih abu-abu melekat ditubuh tinggiku yang lunglai. Tentu saja akulah seorang siswi sekolah menengah atas kelas 12 yang sekarang menginjak umur 17tahun.
Kasturi. Pernah suatu kali aku bertanya kepada papa arti nama singkat itu. jawabnya “Karena kamu terindah untuk papa, sama seperti nabi Muhammad yang menyukai bunga kasturi”. Satu hal yang ku sadari, ternyata dibalik itu ada sosok yang sedang memujaku jauh sebelum aku ada mungkin. Bukan sesuatu yang mengada tapi benar ku akui papa adalah sosok yang puitis untuk potongan orang biasa seperti ia. Berbadan tinggi dan besar. Garis wajah yang kian mengeras sekan menjadi teman cerita hidupnya. Bola mata yang cekung kedalam menjadi sorotan saat pertama kali melihatnya. Kepala botak ia kenakan pat coklat tua lusuh yang selalu dipakai keluar rumah. Kemeja yang sengaja terbuka katup atasnya dan celana cutbrai serta sepatu boots hitam kokoh yg bersejarah. AH! rindu sekali beliau yg seperti itu setiap saat mengantar dan menjemput kesekolah.
     

          Ingin sekali berbaring dilantai busway ini, tetapi manusia mana yang tidak mengira orang gila berseragam seperti aku. Penat sekali menjalankan aktifitas disekolah hari ini.
SMA Gonjong Langik. Dari namanya yang diambil dari bagian rumah gadang sudah menggambarkan dikota mana aku bersekolah. Ya kota Padang, Sumatra Barat. Sekolah bergengsi yang mendidik anak-anak pejabat dan orang-orang ternama tapi sama sekali tidak dengan aku. Papa yang hanya seorang wirausaha penjahit pakaian beruntung bisa menyekolahkan putri semata wayangnya disini karena beasiswa seni sastra yang kudapatkan sewaktu SMP. Ingat kala itu aku berhasil memenangkan lomba karya mengarang sajak. “Donorkan darahmu” cerita sejarah yang ku rangkai sedramatis mungkin berhasil mengambil hati juri lomba. Alhasil aku pulang membawa piala bertuliskan Juara 1 Mengarang sajak tingkat SMP. Entah angin surga dari mana yang berhembus dikeluargaku, yang jelas papa dan aku memiliki darah seni yang mengalir didalamnya. Mama? Seseorang yang ku sebut tidak lain malaikat itu telah lama pergi ketempat terindahNya sejak aku dilahirkan. Beruntung sekali kalian yang masih mempunyai ibu dan kasih sayangnya tidak akan pernah putus meski matahari hilang dari peredaran. Saat itu ingin sekali aku berdoa kepada Tuhan agar membuka mata sebentar saja untuk melihat wajah malaikatku, lalu aku berjanji kepada pagi yang terang dan malam yang gelap untuk selalu menyimpan memori wajahnya disetiap hayat hidupku. Mungkin takdir yang telah menoreh jejaknya yang jelas saat itu mama harus mengeluarkan banyak darah untuk berjuang demi sikecilnya yang kini merindukan dia. Sosok pendamping mama yang kini masih terlihat oleh pelupuk mataku ia lah papa yang juga berperan sebagai mama. Kasih sayang beliau yang selalu tumpah ruah terhadapku. Jangan tanya seberapa besar cintaku padanya. Seluas lautan akan ku tumpahi darahku untuknya.

           
      Citttt… Bunyi rem usang berdecit membuyarkan lamunanku. Tak terasa seonggok angkutan umum ini telah berhenti tepat ditepi jalan persimpangan masuk ke gang rumahku. “Diak disinikan? ngelamun ajo” kernek bus yang memulai awal percakapan sedari tadi bungkamku. Logat minangnya yang masih kental meski dicampur dengan bahasa Indonesia terlihat asing sekali. “Eh iya uda. makasih uda hafal tempat awak berhenti ya” balas ku. Aku berikan recehan sisa yg kupunya dan segera melompat turun dari bibir pintu. Lambat langkahku seperti ada baja yang mengikat diantaranya. Ah lamban aku harus berlari karena papa sedang menunggu sendirian dirumah sakit. Tak ku hiraukan seberapa pahit hari ini semua musnah karena satu tujuanku menemui papa yang sedang terbaring.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar