Dikala siang terik itu aku bergeming diantara haluan gerak-gerik
manusia yang siap melunturkan bulir keringat hari ini. Jangan harap
bermalasan akan menguntungkan ditengah kota yang akan meledak muntahkan
penghuninya. Bau masam yang tak dapat terelakkan seakan menjadi teman
jalanku dipinggiran halte bus ini. Sudah tiga hari aku harus berjalan
sendiri dari sekolah yang tidak seberapa jauh dan melanjutkan langkahku
keatas busway rongsok yg siap melalang buana dikemacetan kota. Ya dan
beberapa hari terakhir juga aku harus menelan luka mentah-mentah melihat
papa terbujur lemas diatas kasur putih rumah sakit. Pilu hatiku
mengatakan bahwa papa sedang dalam keadaan sakit keras. Tukak lambung yang
telah lama menggerogoti sisa umurnya kini menjelma menjadi takdir yang
akan siap merenggut papa kapanpun. Ah tidak! Benci sekali memikirkan hal
ini.
Tak terasa kaki mungil yang kubalut dengan sepatu kets warna hitam
kini sudah menginjak lantai busway yang kotor dan berbau besi karat.
Baju seragam putih abu-abu melekat ditubuh tinggiku yang lunglai. Tentu
saja akulah seorang siswi sekolah menengah atas kelas 12 yang sekarang
menginjak umur 17tahun.
Kasturi. Pernah suatu kali aku bertanya kepada papa arti nama singkat
itu. jawabnya “Karena kamu terindah untuk papa, sama seperti nabi Muhammad yang menyukai bunga kasturi”. Satu hal yang ku
sadari, ternyata dibalik itu ada sosok yang sedang memujaku jauh sebelum
aku ada mungkin. Bukan sesuatu yang mengada tapi benar ku akui papa
adalah sosok yang puitis untuk potongan orang biasa seperti ia. Berbadan
tinggi dan besar. Garis wajah yang kian mengeras sekan menjadi teman
cerita hidupnya. Bola mata yang cekung kedalam menjadi sorotan saat
pertama kali melihatnya. Kepala botak ia kenakan pat coklat tua lusuh
yang selalu dipakai keluar rumah. Kemeja yang sengaja terbuka katup
atasnya dan celana cutbrai serta sepatu boots hitam kokoh yg bersejarah.
AH! rindu sekali beliau yg seperti itu setiap saat mengantar dan
menjemput kesekolah.
Ingin sekali berbaring dilantai busway ini, tetapi manusia mana
yang tidak mengira orang gila berseragam seperti aku. Penat sekali
menjalankan aktifitas disekolah hari ini.
SMA Gonjong Langik. Dari namanya yang diambil dari bagian rumah gadang
sudah menggambarkan dikota mana aku bersekolah. Ya kota Padang, Sumatra
Barat. Sekolah bergengsi yang mendidik anak-anak pejabat dan orang-orang
ternama tapi sama sekali tidak dengan aku. Papa yang hanya seorang
wirausaha penjahit pakaian beruntung bisa menyekolahkan putri semata
wayangnya disini karena beasiswa seni sastra yang kudapatkan sewaktu
SMP. Ingat kala itu aku berhasil memenangkan lomba karya mengarang
sajak. “Donorkan darahmu” cerita sejarah yang ku rangkai sedramatis
mungkin berhasil mengambil hati juri lomba. Alhasil aku pulang membawa
piala bertuliskan Juara 1 Mengarang sajak tingkat SMP. Entah angin surga
dari mana yang berhembus dikeluargaku, yang jelas papa dan aku memiliki
darah seni yang mengalir didalamnya. Mama? Seseorang yang ku sebut
tidak lain malaikat itu telah lama pergi ketempat terindahNya sejak aku
dilahirkan. Beruntung sekali kalian yang masih mempunyai ibu dan kasih
sayangnya tidak akan pernah putus meski matahari hilang dari peredaran.
Saat itu ingin sekali aku berdoa kepada Tuhan agar membuka mata
sebentar saja untuk melihat wajah malaikatku, lalu aku berjanji kepada
pagi yang terang dan malam yang gelap untuk selalu menyimpan memori
wajahnya disetiap hayat hidupku. Mungkin takdir yang telah menoreh
jejaknya yang jelas saat itu mama harus mengeluarkan banyak darah untuk
berjuang demi sikecilnya yang kini merindukan dia. Sosok pendamping mama
yang kini masih terlihat oleh pelupuk mataku ia lah papa yang juga
berperan sebagai mama. Kasih sayang beliau yang selalu tumpah ruah
terhadapku. Jangan tanya seberapa besar cintaku padanya. Seluas lautan
akan ku tumpahi darahku untuknya.
Citttt… Bunyi rem usang berdecit membuyarkan lamunanku. Tak terasa
seonggok angkutan umum ini telah berhenti tepat ditepi jalan
persimpangan masuk ke gang rumahku. “Diak disinikan? ngelamun ajo”
kernek bus yang memulai awal percakapan sedari tadi bungkamku. Logat
minangnya yang masih kental meski dicampur dengan bahasa Indonesia terlihat asing sekali. “Eh
iya uda. makasih uda hafal tempat awak berhenti ya” balas ku. Aku
berikan recehan sisa yg kupunya dan segera melompat turun dari bibir
pintu. Lambat langkahku seperti ada baja yang mengikat diantaranya. Ah
lamban aku harus berlari karena papa sedang menunggu sendirian dirumah
sakit. Tak ku hiraukan seberapa pahit hari ini semua musnah karena satu
tujuanku menemui papa yang sedang terbaring.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar