Liar bola mataku
meliuk kesana-sini mencari seseorang itu.
Pohon
tinggi menjulang damaikan peneduh dibawahnya, pagar bunga setinggi dada mencuat
ingin segera tumbuh besar. Disinilah tempat favoritku menghabiskan jam
istirahat sekolah dan takku lupakan seseorang itu. Buyar dan hancur seketika
tepukan dipundak runtuhkan ambisiku siang ini.
“Kemana aja upiak aku cariin dari tadi loh.
Rindu sekali aku Kasturi. Bagaimana keadaan papa?” tiba-tiba suara besar Hafiz jatuhkan sadarku
dua kali. “Kebiasaan sekali kamu datang
tiba-tiba gini. papa alhamdulillah sudah mulai membaik. Beliau titip salam tu.
Kapan kamu jenguk papa lagi? Rindu sekali dia dibawakan kerupuk kuah buatan
mama” balasku dengan senyum terhadap pria ini. Tawa girang dan belaian
tangannya mendarat diatas kepalaku. “Kamu
yang maukan? pakai cara bilang papa yang rindu lagi. Itukan makanan kesukaan
Kasturi”.
Dan
sialnya kali ini aku harus kalah dari Hafiz. Kerupuk lebar tipis terbuat dari
bahan ubi. Pelengkapnya kuah kuning yang dibiarkan lezat diatas permukaan
terbuat dari bahan dasar tepung dan bumbu penyedap lainnya. Terkadang kuah sate
sebagai penggantinya. Memikirkannya saja membuatku lapar. Tenang tidak harus
merogoh kocek yang mahal untuk satu porsi makanan yang menjadi ikon jajanan
dibawah Jam Gadang Kota Bukittinggi ini. Ya begitulah, cukup sesederhana itu
penikmatku. Apa lagi kalau itu buatan tante Diana. Mama Hafiz sangat pintar
sekali memasak.
Kedekatanku dan Hafiz sama seperti aku
dengan kedua orang tua serta Layla adik perempuan Hafiz yang masih berumur 4
tahun. Beruntung sekali memang bisa mengenal orang baik seperti mereka. Papa
juga sangat berteman baik dengan kedua orang tua Hafiz, ia pernah bercerita
tentang jasa keluarga mereka yang sangat baik terhadapnya dulu ketika mama
masih ada. Papa dan mama yang hanya seorang perantauan berasal dari pulau
mentawai pindah ke Padang untuk mengadu nasip dan beruntung sekali bertemu
dengan om Imron papa Hafiz. Papa yang berstatus pengangguran saat itu diberikan
pekerjaan sebagai mandor disalah satu proyek bangunan. Setelah 3 tahun bekerja
sama dengan om Imron, papa mengumpulkan banyak modal dan beliau ingin membuat
usaha menjahit, pekerjaan yang digemarinya sejak dulu.
Dia
bukanlah seorang yang sempurna, banyak sekali kekurangannya saat mendidikku,
tetapi satu pelajaran yang mungkin sangat berkesan bagiku. Ia ajarkan aku untuk
tidak memaksa. Banyak hal yang harus kita lalui, tetapi tidak banyak yang akan
menjadi indah ketika paksaan menjadi tiang sangganya. Ingat saat itu wejangan
basa basi sebelum tidur. Akhirnya pekerjaan mandor yang ia lakoni ditinggalkan
dan beralih profesi sebagai penjahit pakaian seperti saat sekarang. Hubungan
keluarga masih terjalan sangat baik.
Sudah selama itu kekerabatan keluarga
kami, tapi pertemuanku dan Hafiz baru hampir 3 tahun belakangan ini. Karena
pada saat masih kecil Hafiz dibawa ke Semarang oleh neneknya hingga
menyelesaikan bangku SMP. Sampai pada akhirnya aku bertemu kembali dengan teman
kecil yang terlupakan saat itu.
Riuh semilir angin menggoyang-goyangkan
ujung jilbabku. Canda gurau bersama Hafiz yang menjadi moment ku rindukan.
Bagaimana tidak, pria tampan ini mampu membuatku bergidik malu karena ulahnya
yang jahil. Kekonyolannya mampu hadang rasa bosanku. Hafiz lah satu-satunya teman yang sangat mengerti
bagaimana keadaanku. Hampir setiap saat banyak macam daftar menu rasa ia
lewatkan bersamaku. Tampan? Ya seperti
itulah perawakannya. Bertubuh besar dan tinggi serta kulit putih yang terawat.
Pria ini hidup dikalangan keluarga yang mapan, tentu saja berpengaruh dengan
gayanya, barang-barang yang ia kenakan mahal dan modis serta membakar trend
masa kini. Apa lagi Hafiz seorang yang sangat peduli dengan penampilan,
membuatnya menjadi salah satu pria idaman disekolah ini. Yang benar saja! Pria
konyol didepan mataku menjadi seorang yang diidamkan? Mungkin mereka terkena
serangan mata kronis... hal itu juga yang awalnya membuatku minder bertemannya.
Aku? Sosok gadis kurus tinggi berkulit gelap, mata besar serta bulu mata lentik
yang berbaris merapikan diri, bibir kecil dan tipis, serta hidung sederhana dari
kata mancung ikut serta hiasi gerture wajahku yang oval. Gadis berjilbab mania
fashion vintage. Blue jeans dengan denim jackets, baby doll dresses, long
t-shirts kedodoran dipadukan dengan sepatu sneakers dan keds. Bergaya dengan
pakaian floral dan gaya hippie terkadang menjadi sosok hibster adalah salah
satu hobiku untuk bereksperimen memadukannya. Kepuasan tersendiri untukku bisa
mix and match fashion sperti itu. Gak jarang teman mengatakan itu kuno karena
style seperti ini hits pada era 1960-1990an. Sama sekali tidak mengurangi
keinginan untuk menjadi diriku sendiri.
Entah harus memulai dari mana. Yang
jelas kini degupnya sangat kuat dan hebat, izinkan untuk kali ini saja sungguh
bersikaplah sewajarnya. Perasaan seperti apa ini, terlalu asing dan tak bertuan
tapi telah lama ku dambakan. Aku perintahkan diri ini untuk segera sadar dan
bangkit dari dimensi lain tetapi benar sekali sesuatu yang indah itu berhasil
kuasai hati, pikiran, bahkan jiwaku. “Ayo bangun Kasturi bangun! Dia hanya
sekedar meneyebut namamu. Jangan terlau berlebihan seperti ini” Batinku kembali
sadarkan.
Tadi dikoridor jalan meninggalkan kelas,
aku berjalan diantara Anggun teman sekelasku dan Hafiz yang mengapit dekat
sekali. Riuh sorak sorai murid SMA keluar berdesakan pertanda sekolah yang
penat hari ini telah usai. Tidak sampai disana, tugas-tugas yang semakin
menumpuk seakan ikut serta tertawakan siswa kelas 12 yang sebentar lagi berada
dipenghujung semester genap. Jenuh, bosan, muak, penat, letih, tentu saja
menjadi desakkan yang silih berganti ingin menyiksa. Tak terkecuali aku yang
ingin mengunyah habis buku pelajaran lalu melenggang pergi dan terbang
kemanapun yang penting kebebasan bersamaku. Tapi kembali lagi pada satu
tujuannku inigin membahagiakan papa dengan hasil jerih payahku, tentu saja
bersikap tidak waras seperti itu akan tenggelamkan dalam kehancuran masa depan.
Hey, remaja mana yang tidak menginginkan hidup cerah kelak. Skip! Ku buang jauh
kemalasan demi kemalasan itu.
“Kastrui?”
teguran lembut seorang pria itu mengehentikan langkahku. Begitu berat sekali
hawa disekitarku, sesak sekan waktu mencekik tepat dileherku. Berdiri didekaktu
dengan senyum yang siap menyertakan ingatanku untuk tidak lupakan. Itulah
sesuatu yang indah dan sekarang bertuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar