PURNAMA KERTAS KARTON

PURNAMA KERTAS KARTON

Rabu, 25 November 2015

III. KASTURI?




       Liar bola mataku meliuk kesana-sini mencari seseorang itu.
Pohon tinggi menjulang damaikan peneduh dibawahnya, pagar bunga setinggi dada mencuat ingin segera tumbuh besar. Disinilah tempat favoritku menghabiskan jam istirahat sekolah dan takku lupakan seseorang itu. Buyar dan hancur seketika tepukan dipundak runtuhkan ambisiku siang ini.
Kemana aja upiak aku cariin dari tadi loh. Rindu sekali aku Kasturi. Bagaimana keadaan papa?”  tiba-tiba suara besar Hafiz jatuhkan sadarku dua kali. “Kebiasaan sekali kamu datang tiba-tiba gini. papa alhamdulillah sudah mulai membaik. Beliau titip salam tu. Kapan kamu jenguk papa lagi? Rindu sekali dia dibawakan kerupuk kuah buatan mama” balasku dengan senyum terhadap pria ini. Tawa girang dan belaian tangannya mendarat diatas kepalaku. “Kamu yang maukan? pakai cara bilang papa yang rindu lagi. Itukan makanan kesukaan Kasturi”.
Dan sialnya kali ini aku harus kalah dari Hafiz. Kerupuk lebar tipis terbuat dari bahan ubi. Pelengkapnya kuah kuning yang dibiarkan lezat diatas permukaan terbuat dari bahan dasar tepung dan bumbu penyedap lainnya. Terkadang kuah sate sebagai penggantinya. Memikirkannya saja membuatku lapar. Tenang tidak harus merogoh kocek yang mahal untuk satu porsi makanan yang menjadi ikon jajanan dibawah Jam Gadang Kota Bukittinggi ini. Ya begitulah, cukup sesederhana itu penikmatku. Apa lagi kalau itu buatan tante Diana. Mama Hafiz sangat pintar sekali memasak.
      
      Kedekatanku dan Hafiz sama seperti aku dengan kedua orang tua serta Layla adik perempuan Hafiz yang masih berumur 4 tahun. Beruntung sekali memang bisa mengenal orang baik seperti mereka. Papa juga sangat berteman baik dengan kedua orang tua Hafiz, ia pernah bercerita tentang jasa keluarga mereka yang sangat baik terhadapnya dulu ketika mama masih ada. Papa dan mama yang hanya seorang perantauan berasal dari pulau mentawai pindah ke Padang untuk mengadu nasip dan beruntung sekali bertemu dengan om Imron papa Hafiz. Papa yang berstatus pengangguran saat itu diberikan pekerjaan sebagai mandor disalah satu proyek bangunan. Setelah 3 tahun bekerja sama dengan om Imron, papa mengumpulkan banyak modal dan beliau ingin membuat usaha menjahit, pekerjaan yang digemarinya sejak dulu.
Dia bukanlah seorang yang sempurna, banyak sekali kekurangannya saat mendidikku, tetapi satu pelajaran yang mungkin sangat berkesan bagiku. Ia ajarkan aku untuk tidak memaksa. Banyak hal yang harus kita lalui, tetapi tidak banyak yang akan menjadi indah ketika paksaan menjadi tiang sangganya. Ingat saat itu wejangan basa basi sebelum tidur. Akhirnya pekerjaan mandor yang ia lakoni ditinggalkan dan beralih profesi sebagai penjahit pakaian seperti saat sekarang. Hubungan keluarga masih terjalan sangat baik.
       Sudah selama itu kekerabatan keluarga kami, tapi pertemuanku dan Hafiz baru hampir 3 tahun belakangan ini. Karena pada saat masih kecil Hafiz dibawa ke Semarang oleh neneknya hingga menyelesaikan bangku SMP. Sampai pada akhirnya aku bertemu kembali dengan teman kecil yang terlupakan saat itu.
    
        Riuh semilir angin menggoyang-goyangkan ujung jilbabku. Canda gurau bersama Hafiz yang menjadi moment ku rindukan. Bagaimana tidak, pria tampan ini mampu membuatku bergidik malu karena ulahnya yang jahil. Kekonyolannya mampu hadang rasa bosanku.  Hafiz lah satu-satunya teman yang sangat mengerti bagaimana keadaanku. Hampir setiap saat banyak macam daftar menu rasa ia lewatkan bersamaku. Tampan?  Ya seperti itulah perawakannya. Bertubuh besar dan tinggi serta kulit putih yang terawat. Pria ini hidup dikalangan keluarga yang mapan, tentu saja berpengaruh dengan gayanya, barang-barang yang ia kenakan mahal dan modis serta membakar trend masa kini. Apa lagi Hafiz seorang yang sangat peduli dengan penampilan, membuatnya menjadi salah satu pria idaman disekolah ini. Yang benar saja! Pria konyol didepan mataku menjadi seorang yang diidamkan? Mungkin mereka terkena serangan mata kronis... hal itu juga yang awalnya membuatku minder bertemannya. Aku? Sosok gadis kurus tinggi berkulit gelap, mata besar serta bulu mata lentik yang berbaris merapikan diri, bibir kecil dan tipis, serta hidung sederhana dari kata mancung ikut serta hiasi gerture wajahku yang oval. Gadis berjilbab mania fashion vintage. Blue jeans dengan denim jackets, baby doll dresses, long t-shirts kedodoran dipadukan dengan sepatu sneakers dan keds. Bergaya dengan pakaian floral dan gaya hippie terkadang menjadi sosok hibster adalah salah satu hobiku untuk bereksperimen memadukannya. Kepuasan tersendiri untukku bisa mix and match fashion sperti itu. Gak jarang teman mengatakan itu kuno karena style seperti ini hits pada era 1960-1990an. Sama sekali tidak mengurangi keinginan untuk menjadi diriku sendiri.
        
       Entah harus memulai dari mana. Yang jelas kini degupnya sangat kuat dan hebat, izinkan untuk kali ini saja sungguh bersikaplah sewajarnya. Perasaan seperti apa ini, terlalu asing dan tak bertuan tapi telah lama ku dambakan. Aku perintahkan diri ini untuk segera sadar dan bangkit dari dimensi lain tetapi benar sekali sesuatu yang indah itu berhasil kuasai hati, pikiran, bahkan jiwaku. “Ayo bangun Kasturi bangun! Dia hanya sekedar meneyebut namamu. Jangan terlau berlebihan seperti ini” Batinku kembali sadarkan.

       
       Tadi dikoridor jalan meninggalkan kelas, aku berjalan diantara Anggun teman sekelasku dan Hafiz yang mengapit dekat sekali. Riuh sorak sorai murid SMA keluar berdesakan pertanda sekolah yang penat hari ini telah usai. Tidak sampai disana, tugas-tugas yang semakin menumpuk seakan ikut serta tertawakan siswa kelas 12 yang sebentar lagi berada dipenghujung semester genap. Jenuh, bosan, muak, penat, letih, tentu saja menjadi desakkan yang silih berganti ingin menyiksa. Tak terkecuali aku yang ingin mengunyah habis buku pelajaran lalu melenggang pergi dan terbang kemanapun yang penting kebebasan bersamaku. Tapi kembali lagi pada satu tujuannku inigin membahagiakan papa dengan hasil jerih payahku, tentu saja bersikap tidak waras seperti itu akan tenggelamkan dalam kehancuran masa depan. Hey, remaja mana yang tidak menginginkan hidup cerah kelak. Skip! Ku buang jauh kemalasan demi kemalasan itu.

     

       “Kastrui?” teguran lembut seorang pria itu mengehentikan langkahku. Begitu berat sekali hawa disekitarku, sesak sekan waktu mencekik tepat dileherku. Berdiri didekaktu dengan senyum yang siap menyertakan ingatanku untuk tidak lupakan. Itulah sesuatu yang indah dan sekarang bertuan.

     

Tidak ada komentar:

Posting Komentar