PURNAMA KERTAS KARTON

PURNAMA KERTAS KARTON

Kamis, 18 Juni 2015

II. PENERANGKU

          Malam larut terlalu munafik untuk beranjak dari dinginnya. Semilir angin mampu bekukan keruang kosong sekalipun, tak terkecuali syal rajut yang melilit lembut lehernya. Ku pandang dari belakang punggung pria besar yang berkutik dengan mesin jahit tuanya. Cepat gerak-gerik tangannya meniti satu persatu benang yang merangkai. Ligat ayunan kakinya menyebabkan bunyi putaran mesin yang riuh kaku. Seperti mentari yang tak pernah lelah angurahkan sinarnya, seperti itu lah papa yang tidak pernah lelah dan menahan kantuknya selesaikan tumpukkan bahan kain yang merebak demi kasturi kecil. Sebutan itu lah yang selalu muncul ketika rayuan dan bujuk manjaku melayang terhadapnya. Entah seperti apa pandangan papa terhadap aku yang telah mulai beranjak dewasa dan sikap apa yang telah aku perbuat. Terlihat seperti putri kecil yang bermanja dibalik ketiak rajanya. Aku paham yang dia lakukan untuk memenuhi segala kasih sayang yang ia perankan seorang diri. Seperti ada keinginan yang tertahan. Ah tidak. “Papa, udah malam ni sebaiknya dilanjutkan besok. panas badan papa juga belum reda.” Ku rangkul hebat bahunya sembari sandarkan kepala kelengannya yang kuat tetapi goyah. Usapan tangannya hangatkan aku malam itu. Aku tau beliau sedang tidak sehat terlihat dari raut wajahnya yang lesu, mata besar cekung yang mulai sayu, dan suara parau yang tetap lembut. “Iya kasturi kecil, mari nak bantu papa merapikan kain perca ini” balas nya dengan pelan. Sejak saat itu lah kesehatan papa mulai memburuk, aktifitas yang selalu terhalang karena menahan sakit dibagian perut harus diterimanya. Hingga sampai detik ini beliau harus dirawat intensif agar tukak lambung yang dideritanya tidak bertambah parah.

          Lorong rumah sakit seakan ingin tertawakan langkahku. Tali sepatu yang renggang seperti ingin berlari cepat dan tak lagi ku hiraukan yang penting aku harus sampai keruang papa yang berada di kamar Ar-Rahman C. Decitan bunyi dorongan pintu membangunkan papa yang sedang tertidur. Terlihat wajahnya yang kian menua, kerut yang mulai merekah dan kulit gelap itu kini tampak kecoklatan tertutup lengan baju warna hijau pudar. Tak lupa senyum simpul nya yang mahsyur ia sunggingkan kearahku. “Eh anak papa kasturi hitam manis udah datang. Mari nak ceritakan pada papa sekolah hari ini. Anak gadis siapa yang gangguin tadi?” sambutnya saat aku tiba. Ku raih dan cium tangannya yang hangat sambil tersenyum menutupi rona itu. Seperti itu lah papa dalam keadaan apapun beliau selalu membuat suasana riuh meski kami hanya berdua. Gelak tawanya pecah ketika dia membahas kisah-kasih percintaanku disekolah. Ah yang benar saja papa ini, memang aku memiliki teman pria yang sangat dekat denganku. Hafiz, teman ku sejak pertama kali masuk ke SMA. Pertemuan yang konyol karena saat pertama kali bertemu Hafiz tidak sengaja menarik jilbab sekolahku karena ia mengira aku temannya. Hampir saja pukulanku melayang kearahnya karena mengira dia bersikap kurang ajar. Sejak saat itu aku berteman baik dengannya, silaturrahmi terjalin antara keluarganya dan papa. Dan memang hingga detik ini aku belum pernah merasakan pacaran seperti remaja lain lalui. Mungkin aku yang terlalu takut untuk mencoba, dan memang kasih sayang yang papa berikan jauh lebih besar ku dapatkan dari pria manapun termasuk Hafiz teman dekatku. Papa juga tidak melarang aku berhubungan dengan pria manapun asal memiliki latar belakang yang baik. “Masa setiap hari harus papa yang antar jemput kamu sekolah. Kapan dong pacarnya yang datang nak? Atau pacarnya takut dengan papa yang botak ini? papa juga gak kalah keren loh dari kalian” ingat kala itu ledekan papa yang terasa seperti kilat menyambar langsung kepucuk rambutku. Namun tetap saja aku belum mau untuk mencoba. Tidak! jangan mengira aku bukan remaja normal, segala fase keremajaan ku lalui dengan apa adanya. Ada seseorang itu. Dekat tetapi sangat jauh.
Sambil menyuapi papa makan siang, aku terus bercerita disambut dengan ledekannya yang tidak berhenti menghujamku sedari tadi. Papa keliatan begitu bahagia meski sedang menahan rasa sakit. “Tenang saja papa, kasturi tidak akan biarkan papa rasakan sakit ini sendirian. Kebahagiaan papa adalah penerang jalan kasturi dalam gelap luka” ucap ku dalam hati.

I. AWAL HARU

           Dikala siang terik itu aku bergeming diantara haluan gerak-gerik manusia yang siap melunturkan bulir keringat hari ini. Jangan harap bermalasan akan menguntungkan ditengah kota yang akan meledak muntahkan penghuninya. Bau masam yang tak dapat terelakkan seakan menjadi teman jalanku dipinggiran halte bus ini. Sudah tiga hari aku harus berjalan sendiri dari sekolah yang tidak seberapa jauh dan melanjutkan langkahku keatas busway rongsok yg siap melalang buana dikemacetan kota. Ya dan beberapa hari terakhir juga aku harus menelan luka mentah-mentah melihat papa terbujur lemas diatas kasur putih rumah sakit. Pilu hatiku mengatakan bahwa papa sedang dalam keadaan sakit keras. Tukak lambung yang telah lama menggerogoti sisa umurnya kini menjelma menjadi takdir yang akan siap merenggut papa kapanpun. Ah tidak! Benci sekali memikirkan hal ini.
Tak terasa kaki mungil yang kubalut dengan sepatu kets warna hitam kini sudah menginjak lantai busway yang kotor dan berbau besi karat. Baju seragam putih abu-abu melekat ditubuh tinggiku yang lunglai. Tentu saja akulah seorang siswi sekolah menengah atas kelas 12 yang sekarang menginjak umur 17tahun.
Kasturi. Pernah suatu kali aku bertanya kepada papa arti nama singkat itu. jawabnya “Karena kamu terindah untuk papa, sama seperti nabi Muhammad yang menyukai bunga kasturi”. Satu hal yang ku sadari, ternyata dibalik itu ada sosok yang sedang memujaku jauh sebelum aku ada mungkin. Bukan sesuatu yang mengada tapi benar ku akui papa adalah sosok yang puitis untuk potongan orang biasa seperti ia. Berbadan tinggi dan besar. Garis wajah yang kian mengeras sekan menjadi teman cerita hidupnya. Bola mata yang cekung kedalam menjadi sorotan saat pertama kali melihatnya. Kepala botak ia kenakan pat coklat tua lusuh yang selalu dipakai keluar rumah. Kemeja yang sengaja terbuka katup atasnya dan celana cutbrai serta sepatu boots hitam kokoh yg bersejarah. AH! rindu sekali beliau yg seperti itu setiap saat mengantar dan menjemput kesekolah.
     

          Ingin sekali berbaring dilantai busway ini, tetapi manusia mana yang tidak mengira orang gila berseragam seperti aku. Penat sekali menjalankan aktifitas disekolah hari ini.
SMA Gonjong Langik. Dari namanya yang diambil dari bagian rumah gadang sudah menggambarkan dikota mana aku bersekolah. Ya kota Padang, Sumatra Barat. Sekolah bergengsi yang mendidik anak-anak pejabat dan orang-orang ternama tapi sama sekali tidak dengan aku. Papa yang hanya seorang wirausaha penjahit pakaian beruntung bisa menyekolahkan putri semata wayangnya disini karena beasiswa seni sastra yang kudapatkan sewaktu SMP. Ingat kala itu aku berhasil memenangkan lomba karya mengarang sajak. “Donorkan darahmu” cerita sejarah yang ku rangkai sedramatis mungkin berhasil mengambil hati juri lomba. Alhasil aku pulang membawa piala bertuliskan Juara 1 Mengarang sajak tingkat SMP. Entah angin surga dari mana yang berhembus dikeluargaku, yang jelas papa dan aku memiliki darah seni yang mengalir didalamnya. Mama? Seseorang yang ku sebut tidak lain malaikat itu telah lama pergi ketempat terindahNya sejak aku dilahirkan. Beruntung sekali kalian yang masih mempunyai ibu dan kasih sayangnya tidak akan pernah putus meski matahari hilang dari peredaran. Saat itu ingin sekali aku berdoa kepada Tuhan agar membuka mata sebentar saja untuk melihat wajah malaikatku, lalu aku berjanji kepada pagi yang terang dan malam yang gelap untuk selalu menyimpan memori wajahnya disetiap hayat hidupku. Mungkin takdir yang telah menoreh jejaknya yang jelas saat itu mama harus mengeluarkan banyak darah untuk berjuang demi sikecilnya yang kini merindukan dia. Sosok pendamping mama yang kini masih terlihat oleh pelupuk mataku ia lah papa yang juga berperan sebagai mama. Kasih sayang beliau yang selalu tumpah ruah terhadapku. Jangan tanya seberapa besar cintaku padanya. Seluas lautan akan ku tumpahi darahku untuknya.

           
      Citttt… Bunyi rem usang berdecit membuyarkan lamunanku. Tak terasa seonggok angkutan umum ini telah berhenti tepat ditepi jalan persimpangan masuk ke gang rumahku. “Diak disinikan? ngelamun ajo” kernek bus yang memulai awal percakapan sedari tadi bungkamku. Logat minangnya yang masih kental meski dicampur dengan bahasa Indonesia terlihat asing sekali. “Eh iya uda. makasih uda hafal tempat awak berhenti ya” balas ku. Aku berikan recehan sisa yg kupunya dan segera melompat turun dari bibir pintu. Lambat langkahku seperti ada baja yang mengikat diantaranya. Ah lamban aku harus berlari karena papa sedang menunggu sendirian dirumah sakit. Tak ku hiraukan seberapa pahit hari ini semua musnah karena satu tujuanku menemui papa yang sedang terbaring.